Oleh : Muh. Sukri
POLMAN, Infosulbar.com – Memasuki tahapan Pilkada 2024, perebutan suara pemilih kian sengit dengan beragam strategi yang diandalkan oleh para kandidat. Dalam iklim demokrasi yang ideal, pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi ajang adu program yang mengedepankan solusi nyata bagi masyarakat.
Namun, realitas politik di lapangan tak lepas dari dua strategi lain yang sering muncul: kampanye hitam (black campaign) dan politik uang. Masing-masing strategi ini memiliki dampak berbeda terhadap demokrasi dan perilaku pemilih, menciptakan pertarungan sengit dalam proses pemilihan.
- Adu Program: Kompetisi Gagasan dan Visi
Strategi yang paling diidamkan dalam Pilkada adalah adu program, di mana kandidat bersaing melalui ide-ide dan solusi konkret untuk permasalahan masyarakat.
Adu program menjadi sarana bagi calon kepala daerah untuk mempresentasikan visi pembangunan ekonomi, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kandidat yang unggul dalam adu program mampu menawarkan kebijakan yang terukur, berorientasi jangka panjang, serta berkomitmen untuk melaksanakan janji politiknya.
Pemilih pun diberikan kesempatan untuk melihat kapasitas kepemimpinan yang sesungguhnya, sekaligus menilai tingkat pemahaman calon terhadap masalah daerah. Di sini, debat gagasan dan diskusi publik menjadi arena utama bagi kandidat untuk meyakinkan pemilih.
Namun, sayangnya adu program seringkali tersisih ketika pemilih lebih terpengaruh oleh isu negatif atau daya pikat politik uang. Ketika adu program gagal mendominasi narasi Pilkada, kualitas demokrasi pun terancam.
- Kampanye Hitam: Merusak Citra, Menebar Ketakutan
Black campaign atau kampanye hitam menjadi strategi destruktif yang bertujuan menjatuhkan citra lawan melalui informasi yang sering kali bersifat fitnah dan hoaks.
Kandidat yang menggunakan strategi ini lebih memilih menyerang pribadi, moral, atau isu-isu sensitif lawan yang tidak relevan dengan kemampuan kepemimpinan.
Fenomena ini kerap merusak atmosfer politik karena menanamkan kebencian dan ketakutan dalam benak pemilih. Alih-alih memilih berdasarkan program dan kebijakan, pemilih justru terpengaruh oleh rasa takut dan provokasi.
Meski kampanye hitam diatur dalam undang-undang dan dapat dikenai sanksi, praktik ini tetap muncul terutama di era digital. Penyebaran kampanye hitam di media sosial mempermudah penyebarannya dan sulit dilacak.
Kampanye hitam, meskipun berbahaya bagi integritas pemilu, seringkali efektif dalam mengalihkan perhatian pemilih dari program-program positif yang diusung kandidat. Hal ini merusak fokus Pilkada yang seharusnya menjadi ajang gagasan.
- Politik Uang: Membeli Pilihan Pemilih
Fenomena “isi tas” atau politik uang juga masih menjadi tantangan besar dalam Pilkada. Melalui strategi ini, kandidat atau tim suksesnya mencoba mempengaruhi pemilih dengan memberikan imbalan materi, seperti uang tunai, sembako, atau barang-barang lainnya.
Praktik ini, meskipun dilarang keras dalam hukum, sering kali berlangsung secara terselubung di tengah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.
Politik uang mencederai prinsip demokrasi yang seharusnya memberikan kebebasan kepada pemilih dalam menentukan pilihannya secara mandiri.
Pemilih yang tergiur oleh iming-iming materi cenderung mengabaikan kualitas program dan visi kandidat, menjadikan suara mereka diperdagangkan untuk keuntungan jangka pendek.
Di daerah dengan kondisi ekonomi lemah, politik uang sering kali lebih efektif dibandingkan adu program. Pemilih yang mengalami kesulitan ekonomi mungkin lebih memilih calon yang memberikan keuntungan langsung, meski ini merusak integritas proses pemilihan.
Pertarungan Tiga Strategi dalam Pilkada
Ketiga strategi ini – adu program, kampanye hitam, dan politik uang – kerap saling beradu untuk mempengaruhi preferensi pemilih. Adu program, meski ideal dan sehat, tidak selalu memenangkan pertarungan karena pemilih bisa terjerumus pada propaganda negatif atau tergoda oleh keuntungan materi.
Dalam pertarungan politik yang kompleks ini, kandidat yang mengandalkan adu program harus bekerja lebih keras untuk menjaga fokus pemilih terhadap visi dan gagasan mereka.
Sementara itu, kampanye hitam dapat dengan cepat merusak reputasi kandidat yang paling unggul, dan politik uang menantang nilai-nilai demokrasi yang seharusnya berfokus pada gagasan, bukan keuntungan sesaat.
Membangun Demokrasi yang Sehat
Untuk mewujudkan Pilkada yang bersih dan demokratis, diperlukan sinergi antara kesadaran politik masyarakat, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kampanye hitam dan politik uang, serta pengawasan ketat dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Pemilih juga perlu didorong untuk lebih kritis dalam menilai program, bukan terpengaruh oleh propaganda atau iming-iming materi.
Dengan adu program sebagai strategi utama, demokrasi yang sehat akan terbangun. Tapi tantangannya tidaklah mudah: kampanye hitam dan politik uang masih mengancam perjalanan demokrasi kita.
Untuk itu, upaya mendidik pemilih serta menegakkan aturan adalah kunci agar Pilkada menjadi ajang pertarungan gagasan, bukan pertarungan hitam atau “isi tas”.
(Bsb)